kasus gayus ini Berawal tudingan Mantan Kabareskrim Mabes Polri,
Komjen Susno Duadji tentang adanya praktek mafia hukum di tubuh Polri dalam
penanganan kasus money laundring oknum pegawai pajak bernama Gayus Halomoan
Tambunan yang merembet kepada Kejaksaan Agung dan Tim Jaksa Peneliti, Tim Jaksa
Peneliti akhirnya bersuara mengungkap kronologis penanganan kasus Gayus H.
Tambunan. Berikut ini kronologis penanganan kasus Gayus H. Tambunan menurut Tim
Peneliti Kejaksaan Agung.
Kasus bermula dari kecurigaan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap rekening milik Gayus H. Tambunan
di Bank Panin. Polri kemudian melakukan penyelidikan terhadap kasus ini.
Tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskrim Mabes Polri menetapkan Gayus H.
Tambunan sebagai tersangka dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP).
Dalam berkas yang dikirimkan penyidik Polri kepada
kejaksaan, Gayus H. Tambunan dijerat dengan tiga pasal berlapis yakni pasal korupsi,
pencucian uang, dan penggelapan. Hal ini karena Gayus H. Tambunan adalah
seorang pegawai negeri dan memiliki dana Rp. 25 miliar di Bank Panin.
Hasil penelitian jaksa menyebutkan bahwa hanya
terdapat satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan
ke Pengadilan, yaitu penggelapan namun hal ini tidak terkait dengan uang
senilai Rp. 25 milliar yang diributkan PPATK dan Polri. Untuk korupsi terkait
dana Rp.25 milliar tidak dapat dibuktikan karena dalam penelitian ternyata uang
tersebut merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih. Andi Kosasih
adalah pengusaha garmen asal Batam yang mengaku pemilik uang senilai hampir Rp.
25 miliar di rekening Bank Panin milik Gayus H. Tambunan. Hal ini didukung
dengan adanya perjanjian tertulis antara terdakwa (Gayus H. Tambunan) dan Andi
Kosasih yang ditandatangani tanggal 25 Mei 2008.
Menurut Cirrus Sinaga selaku anggota Tim Jaksa
Peneliti kasus Gayus, Gayus H. Tambunan dan Andi Kosasih awalnya berkenalan di
pesawat. Kemudian keduanya berteman karena merasa sama-sama besar, tinggal dan
lahir di Jakarta Utara. Karena pertemanan keduanyalah Andi Kosasih meminta
Gayus H. Tambunan mencarikan tanah dua hektar untuk membangun ruko di kawasan
Jakarta Utara. Biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan tanah tersebut sebesar US$
6 juta. Namun Andi Kosasih baru menyerahkan uang sebesar US$ 2.810.000. Andi
menyerahkan uang tersebut kepada Gayus melalui transaksi tunai di rumah orang
tua istri Gayus lengkap dengan kwitansinya, sebanyak enam kali yaitu pada tanggal
1 Juni 2008 sebesar US$ 900.000, tanggal 15 September 2008 sebesar US$ 650.000,
tanggal 27 Oktober 2008 sebesar US$ 260.000, tanggal 10 November 2008 sebesar
US$ 200.000, tanggal 10 Desember 2008 sebesar US$ 500.000, dan terakhir pada
tanggal 16 Februari 2009 sebesar US$ 300.000. Andi Kosasih menyerahkan uang
tersebut karena dia percaya kepada Gayus H. Tambunan.
Menurut Cirrus Sinaga, dugaan money laundring hanya
tetap menjadi dugaan karena Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan
(PPATK) sama sekali tidak dapat membuktikan uang senilai Rp. 25 milliar
tersebut merupakan uang hasil kejahatan pencucian uang (money laundring). PPATK
telah dihadirkan dalam kasus tersebut sebagai saksi. Dalam proses perkara,
PPATK tidak bisa membuktikan transfer rekening yang diduga tindak pidana.
Dari perkembangan proses penyidikan kasus tersebut,
ditemukan juga adanya aliran dana senilai Rp 370 juta di rekening lainnya di
Bank BCA milik Gayus H. Tambunan. Uang tersebut diketahui berasal dari dua
transaksi yaitu dari PT.Mega Cipta Jaya Garmindo. PT. Mega Cipta Jaya Garmindo
adalah perusahaan milik pengusaha Korea, Mr. Son dan bergerak di bidang garmen.
Transaksi dilakukan dalam dua tahap yaitu pada tanggal 1 September 2007 sebesar
Rp. 170 juta dan 2 Agustus 2008 sebesar Rp. 200 juta.
Setelah diteliti dan disidik, uang senilai Rp.370 juta
tersebut diketahui bukan merupakan korupsi dan money laundring tetapi
penggelapan pajak murni. Uang tersebut dimaksudkan untuk membantu pengurusan
pajak pendirian pabrik garmen di Sukabumi. Namun demikian, setelah dicek,
pemiliknya Mr Son, warga Korea, tidak diketahui berada di mana. Uang tersebut
masuk ke rekening Gayus H. Tambunan tetapi ternyata Gayus tidak urus pajaknya.
Uang tersebut tidak digunakan oleh Gayus dan tidak dikembalikan kepada Mr. Son
sehingga hanya diam di rekening Gayus. Berkas P-19 dengan petujuk jaksa untuk
memblokir dan kemudian menyita uang senilai Rp 370 juta tersebut. Dalam
petunjuknya, jaksa peneliti juga meminta penyidik Polri menguraikan di Berita
Acara Pemeriksaan (BAP) keterangan tersebut beserta keterangan tersangka (Gayus
H. Tambunan).
Dugaan penggelapan yang dilakukan Gayus diungkapkan
Cirrus Sinaga secara terpisah dan berbeda dasar penanganannya dengan penanganan
kasus money laundring, penggelapan dan korupsi senilai Rp. 25 milliar yang
semula dituduhkan kepada Gayus. Cirrus dan jaksa peneliti lain tidak
menyinggung soal Rp 25. milliar lainnya dari transaksi Roberto Santonius,
seorang konsultan pajak. Kejaksaan pun tak menyinggung apakah mereka pernah memerintahkan
penyidik Polri untuk memblokir dan menyita uang dari Roberto ke rekening Gayus
senilai Rp 25 milyar itu.
Sebelumnya, penyidik Polri melalui AKBP Margiani,
dalam keterangan persnya mengungkapkan bahwa jaksa peneliti dalam petunjuknya
(P-19) berkas Gayus memerintahkan penyidik untuk menyita besaran tiga transaksi
mencurigakan di rekening Gayus. Adapun tiga transaksi itu diketahui berasal
dari dua pihak, yaitu Roberto Santonius dan PT. Mega Jaya Citra Termindo.
Transaksi yang berasal dari Roberto, yang diketahui sebagai konsultan pajak
bernilai Rp. 25 juta, sedangkan dari PT. Mega Jaya Citra Termindo senilai Rp.
370 juta. Transaksi itu terjadi pada tanggal 18 Maret, 16 Juni dan 14 Agustus
2009. Uang senilai Rp. 395 juta tersebut disita berdasarkan petunjuk dari jaksa
peneliti kasus itu.
Berkas Gayus dilimpahkan ke pengadilan. Jaksa
mengajukan tuntutan 1 (satu) tahun dan masa percobaan 1 (satu) tahun. Dari
pemeriksaan atas pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu sebelumnya, beredar
kabar bahwa ada “guyuran” sejumlah uang kepada polisi, jaksa, hingga hakim
masing-masing Rp 5 miliar. Diduga gara-gara ‘guyuran’ uang tersebut Gayus
terbebas dari hukuman. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 12
Maret 2010, Gayus yang hanya dituntut satu tahun percobaan, dijatuhi vonis
bebas.
Menurut Yunus Husein, Ketua PPATK, “Mengalirnya uang
belum kelihatan kepada aparat negara atau kepada penegak hukum. Namun anehnya
penggelapan ini tidak ada pihak pengadunya, pasalnya perusahaan ini telah
tutup. Sangkaan inilah yang kemudian maju ke persidangan Pengadilan Negeri
Tangerang. Di Pengadilan Negeri Tangerang, Gayus tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan. Hasilnya, Gayus
divonis bebas.”
Sosok Gayus dinilai amat berharga karena ia termasuk
saksi kunci dalam kasus dugaan makelar kasus serta dugaan adanya mafia pajak di
Direktorat Jenderal Pajak. Belum diketahui apakah Gayus melarikan diri lantaran
takut atau ada tangan-tangan pihak tertentu yang membantunya untuk kabur supaya
kasus yang membelitnya tidak terbongkar sampai ke akarnya. Satgas Pemberantasan
Mafia Hukum meyakini kasus Gayus H. Tambunan bukan hanya soal pidana pengelapan
melainkan ada juga pidana korupsi dan pencucian uang.
Gayus diketahui berada di Singapura. Dia meninggalkan
Indonesia pada Rabu 24 Maret 2010 melalui Bandara Soekarno-Hatta. Namun dia
pernah memberikan keterangan kepada Satgas kalau praktek yang dia lakukan
melibatkan sekurang-kurangnya 10 rekannya. Imigrasi tidak mengetahui posisi
Gayus.
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum mengatakan bahwa
kasus markus pajak dengan aktor utama Gayus H. Tambunan melibatkan sindikasi
oknum polisi, jaksa, dan hakim. Satgas menjamin oknum-oknum tersebut akan
ditindak tegas oleh masing-masing institusinya, koordinasi perkembangan ketiga
lembaga tersebut terus dilakukan bersama Satgas. Ketiga lembaga tersebut sudah
berjanji akan melakukan proses internal. Kasus ini merupakan sindikasi
(jaringan) antar berbagai lembaga terkait.
Perkembangan selanjutnya kasus Gayus melibatkan Komjen
Susno Duadji, Brigjen Edmond Ilyas, Brigjen Raja Erisman. Setelah 3 kali
menjalani pemeriksaan, Komjen Susno Duadji menolak diperiksa Propam. Alasannya,
dasar aturan pemeriksaan sesuai dengan Pasal 45, 46, 47, dan 48 UU No 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 25 Perpres No. I
Tahun 2007 tentang Pengesahan Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan, harus
diundangkan menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM.
Komisi III DPR menyatakan siap memberi perlindungan
hukum untuk Komjen Susno Duadji. Pada tanggal 30 Maret 2010, polisi telah
berhasil mendeteksi posisi keberadaan Gayus di negara Singapura dan menunggu
koordinasi dengan pihak pemerintah Singapura untuk memulangkan Gayus ke
Indonesia. Polri mengaku tidak akan seenaknya melakukan tindakan terhadap Gayus
meski yang bersangkutan telah diketahui keberadaannya di Singapura.
Pada tanggal 31 Maret 2010, Tim Penyidik Divisi
Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri memeriksa tiga orang sekaligus. Selain
Gayus H. Tambunan dan Brigjen Edmond Ilyas, ternyata Brigjen Raja Erisman juga
ikut diperiksa. Pemeriksaan dilakukan oleh tiga tim berbeda. Tim pertama
memeriksa berkas lanjutan pemeriksaan Andi Kosasih, tim kedua memeriksa adanya
keterlibatan anggota polri dalam pelanggaran kode etik profesi, dan tim ketiga
menyelidiki keberadaan dan tindak lanjut aliran dana rekening Gayus.
Pada tanggal 7 April 2010, Komisi III DPR mengendus
seorang jenderal bintang tiga di Kepolisian diduga terlibat dalam kasus Gayus
H. Tambunan dan seseorang bernama Syahrial Johan ikut terlibat dalam kasus
penggelapan pajak yang melibatkan Gayus H. Tambunan, dari Rp. 24 milliar yang
digelapkan Gayus, Rp. 11 milliar mengalir kepada pejabat kepolisian, Rp. 5
milliar kepada pejabat kejaksaan dan Rp. 4 milliar di lingkungan kehakiman,
sedangkan sisanya mengalir kepada para pengacara.
Analisis Kasus Gayus
Setiap tahun pemerintah menyiapkan anggaran keuangan
yang disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja yang mempunyai fungsi sebagai
kebijakan keuangan pemerintahan dalam memperoleh dan mengeluarkan uang yang
digunakan untuk menjalankan pemerintahan. Anggaran ini memperlihatkan jumlah
pendapatan dan belanja yang diantisipasikan dalam tahun berikut. Dalam unsur
pendapatan yang paling utama dan penting adalah pendapatan yang berasal pajak,
selain dari pada itu berasal dari sumber lain yang dinamakan “Pendapatan Negara
Bukan Pajak” (PNBP) dan hibah. PNBP merupakan pendapatan negara yang paling
banyak jenisnya termasuk yang dinamakan “retribusi.” Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) kerap mengalami kebocoran lantaran dikorup para pejabat.
Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung hingga mencapai 30 persen. Jika APBN
minimal Rp1.400 triliun, sekitar Rp400 miliar dana APBN yang menguap setiap
tahun.
Pembahasan ini difokuskan pada divonis bebasnya Gayus
oleh Pengadilan Negeri Tangerang karena tidak terbukti melakukan salah satu
tindak pidana yang disangkakan, yaitu: korupsi, Menurut anggota Komisi III DPR,
Andi Anzhar Cakra Wijaya, kasus penggelapan pajak masih belum manjur jika hanya
dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Money
Laundering (pencucian uang) dinilai lebih sakti menindak mafia pajak.
Para penegak hukum bisa menggunakan Undang-Undang tersebut untuk membuktikan
perbuatan penggelapan pajak kasus Gayus Tambunan. Ia menyebutkan, penggelapan
pajak itu berasal dari perbuatan Gayus yang menerima suap dari
perusahaan-perusahaan yang dibantunya. Akibat suap itulah terjadi penggelapan
pajak yang jumlahnya sangat besar dan merugikan negara. “Kalau ada indikasi
penggelapan perpajakan, harus digunakan Undang-Undang Pencucian Uang. Proses
penyidikan bisa dimulai dari pencucian uang itu,” tutur Andi. Setuju dengan
pendapat Andi Anzhar Cakra Wijaya, penulis berpendapat bahwa sudah seharusnya
Gayus dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Khusus, yaitu korupsi,
pencucian uang dan penggelapan.
Kalau kita baca kembali kasus Gayus tersebut, jelas
bahwa pada awalnya dalam berkas yang dikirimkan penyidik Polri kepada
kejaksaan, Gayus H. Tambunan dijerat dengan tiga pasal berlapis yakni pasal
korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. Hal ini karena Gayus H. Tambunan
adalah seorang pegawai negeri dan memiliki dana Rp. 25 miliar di Bank Panin.
Sebenarnya dengan melihat besarnya dana yang dimiliki
oleh seorang pegawai negeri sudah cukup menimbulkan banyak pertanyaan darimana
uang sebanyak itu mengingat Gayus hanyalah seorang pegawai negeri dan orang
tuanya juga bukan pengusaha kaya raya. Sangat mustahil dia bisa mempunyai uang
sebanyak itu di rekening banknya. Keberadaan uang dua puluh lima milyar di
rekening Gayus sudah cukup menjadi bukti permulaan untuk menelusuri darimana
uang tersebut, bagaimana cara Gayus memperolehnya, apakah ada hubungannya
dengan pekerjaannya sebagai seorang pegawai pajak dan lain-lain.
Berdasarkan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menetapkan
bahwa selain dilakukan oleh pembayar pajak (plagen atau dader), tindak pidana pajak dapat
melibatkan penyerta (deelderming) seperti wakil, kuasa atau pegawai pembayar pajak atau pihak
lain yang menyuruh melakukan (doen plegen atau middelijke),
yang turut serta melakukan (medeplegen atau mededader),
yang menganjurkan (uitlokker), atau yang membantu melakukan tindak pidana perpajakan (medeplichtige),
Gayus mungkin saja berperan sebagai medeplegen, uitlokker atau medeplichtige.
Hal ini didasarkan pada keterangan Gayus pada Satgas pemberantasan mafia hukum
bahwa dalam melakukan aksinya tersebut Gayus melibatkan sekurang-kurangnya
sepuluh rekannya.
Namun apa yang terjadi?
Indikasi tindak pidana perpajakan berupa penggelapan
yang dilakukan oleh Gayus terkait uang dua puluh lima milyar di rekening
banknya tidak terbukti. Hal ini sebagaimana hasil penelitian jaksa yang
menyebutkan bahwa hanya terdapat satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan
dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu penggelapan namun hal ini tidak
terkait dengan uang senilai Rp. 25 milliar yang diributkan PPATK dan Polri.
Penggelapan yang dimaksud yaitu adanya aliran dana senilai Rp 370 juta di
rekening Bank BCA milik Gayus H. Tambunan. Uang tersebut diketahui berasal dari
dua transaksi yaitu dari PT.Mega Cipta Jaya Garmindo. pada tanggal 1 September
2007 sebesar Rp. 170 juta dan 2 Agustus 2008 sebesar Rp. 200 juta. Uang tersebut
dimaksudkan untuk membantu pengurusan pajak pendirian pabrik garmen di
Sukabumi. Namun setelah dicek, pemiliknya Mr Son, warga Korea, tidak diketahui
berada di mana. Uang tersebut masuk ke rekening Gayus H. Tambunan tetapi
ternyata Gayus tidak urus pajaknya. Uang tersebut tidak digunakan oleh Gayus
dan tidak dikembalikan kepada Mr. Son sehingga hanya diam di rekening Gayus.
Berdasarkan penelitian dan penyidikan, uang senilai Rp.370 juta tersebut
diketahui bukan merupakan korupsi dan money laundring tetapi penggelapan pajak
murni.
Oleh karena itu, kebocoran APBN di sana-sini hampir
dipastikan semakin besar ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Sebab, semua sektor
rawan dikorupsi. Hanya, peluang beberapa pos anggaran lebih terbuka. Di
antaranya, pos penganggaran untuk bantuan sosial dan belanja modal seperti
untuk pembangunan infrastruktur. Mengacu pada sejumlah kasus korupsi yang bisa
dibongkar, jika ditotal, kerugian negara memang cukup besar. Sebut saja kasus
Nazaruddin di wisma atlet yang merugikan negara sekitar Rp25 miliar. Selain
itu, kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang merugikan keuangan negara Rp25
miliar. Jadi, kejahatan anggaran yang belum terungkap itu sebenarnya masih
sangat banyak
inilah salah satu kelebihan dari Indonesia...
BalasHapuskelebihan koruptor....!!!
Nice Post :-)
ya emang benar sekali,,
BalasHapus